PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM OPTIK HUKUM TATA NEGARA

Bachtiar

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Anggota Pokja Komisi Kejaksaan Republik Indonesia

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum FH USAKTI Jakarta

E-mail : bachtiar.baital@gmail.com

Abstract: The Retroactive Principle Enforcement in Constitutional Law Optics. The principle of retroactive is the main legal principles in law enforcement is the basis for a person to be prosecuted under a retroactive law, which is limited to certain criminal offenses. Imposition of retroactive principle in the Indonesian legal system is a form of deviation from the principle of non-retroactive and the principle of legality. In constitutional law optics, the principle of non-retroactive is constitutional order, can not be criss, let alone negated by a law. Therefore, the principle of retroactive in constitutional law optics can not be enforced in the Indonesian legal system.

Keywords: enforcement, retroactive principle, constitutional law.

Abstrak: Pemberlakuan Asas Retroaktif Dalam Optik Hukum Tata Negara. Asas retroaktif merupakan asas hukum utama dalam penegakan hukum yang menjadi dasar bagi seseorang untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, yang terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Pemberlakuan asas retroaktif dalam sistem hukum Indonesia merupakan bentuk penyimpangan dari asas non-retroaktif dan asas legalitas. Dalam optik hukum tata negara, asas non-retroaktif adalah perintah konstitusi, tidak dapat disimpangi, apalagi dinegasi oleh suatu undang-undang. Karenanya, asas retroaktif dalam optik hukum tata negara tidak dapat diberlakukan dalam sistem hukum Indonesia.

Kata Kunci: pemberlakuan, asas retroaktif, hukum tata negara.

Pendahuluan

 

Unsur terpenting dan pokok dari peraturan hukum adalah asas hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Satjipto Rahardjo menyebutkan asas hukum sebagai “jantungnya” peraturan hukum atau ratio legis dari peraturan hukum.[1] Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu peraturan-peraturan selanjutnya.[2] Dengan demikian, asas hukum adalah dasar normatif pembentukan hukum, tanpa asas hukum, hukum positif tak memiliki makna apa-apa, dan kehilangan watak normatifnya, yang pada gilirannya asas hukum membutuhkan bentuk yuridis untuk menjadi aturan hukum positif.[3] Asas hukum adalah konsep-konsep dasar pembimbing bagi pembentukan hukum, yang dalam proses pembentukan hukum dijabarkan lebih lanjut dan dikonkritkan.[4] Asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.[5] Oleh karena itu harus diakui bahwa asas-asas hukum mengambil tempat sentral dalam hukum positif.

Salah satu asas yang sampai saat ini masih berlaku dan sangat terkenal adalah asas legalitas. Biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian yaitu : (1) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana dalam hal ini terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan; (2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; dan (3) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[6] Meskipun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tampaknya juga berdampak terhadap penerapan asas-asas hukum di Indonesia. Hal ini terlihat dari konfigurasi perdebatan diantara pakar hukum tentang penerapan asas retroaktif dalam sistem hukum Indonesia. Pakar hukum terbelah dalam dua kutub yang pro dan kontra dengan argumentasi yang berbeda-beda tergantung sudut pandangnya masing-masing. Ada yang membolehkan diterapkan, namun ada pula yang tidak setuju asas retroaktif tidak dapat diterapkan. Perdebatan tersebut pada dasarnya muncul akibat adanya kehendak untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM)[7] dan Tindak Pidana Terorisme dengan menerapkan asas retroaktif.

Hal inilah yang memotivasi penulis untuk mencoba ikut andil mengemukakan secuil pikiran dalam rangka memperkaya khasanah keilmuan khususnya disiplin hukum tata negara yang menjadi konsentrasi studi penulis. Pembicaraan asas ini menjadi penting oleh karena adanya tuntutan korban pelanggaran HAM di masa lalu yang menuntut keadilan dan tuntutan dunia internasional mengenai kejahatan terorisme, serta perbuatan lain yang tiada bandingannya dalam perundang-undangan pidana, padahal perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela. Apalagi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 yang banyak menimbulkan kontroversi. Adapun permasalahan yang diajukan untuk dikaji lebih lanjut adalah terkait masalah “pemberlakuan asas retroaktif dalam optik Hukum Tata Negara?”.

Pemahaman Tentang Asas Retroaktif

Secara istilah asas retroaktif pada dasarnya mengandung dua kata pokok, yaitu “asas” dan “retroaktif”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “asas” diartikan sebagai hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat ). Sedangkan kata “retroaktif” berasal dari bahasa latin “rectroactus” yang artinya adalah  “to drive back” yang berarti “bersifat surut berlakunya”. Dengan demikian, pengertian asas retroaktif dari segi etimologi adalah dasar yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak tanggal diundangkannya.

Didalam kamus istilah Hukum Fockema Andreae, yang dimaksud retroaktif yaitu mempunyai daya berlaku surut.[8] Sementara dalam Black‟s Law memberikan definisi retroactive law sebagai berikut :

“A legislative act that looks backward or contemplates the past, affecting acts or facts that evisted before the act came into effect. A Retroactive law is not unconstitutional unless it (1) is in the nature of an expost facto law or a bill of attainder, (2) impairs the obligation of contract, (3) divests vested rights, or (4) is constitutionally for bidden.[9]

Charles Sampford sendiri mendefinisikan hukum retroaktif sebagai :

“one alters the future legal consequences of past actions or events (or, to put it another way, that at least one of the laws that are used to determine the consequences of an action was not potentially discoverable at the time the action was taken). One result of this definition is that it shows that retrospectivity is not an all-or-nothing matter, but rather a question of degree”.[10]

Selanjutnya Elmer A. Driedger sebagaimana dikutip oleh Sampford menegaskan bahwa ada dua macam kategori hukum retrospektif, yaitu pertama, hukum retroaktif (berlaku surut), yang beroperasi pada waktu sebelum ditetapkan, dan kedua, hukum retrospektif, yang beroperasi untuk masa depan saja. Dari kedua kategori ini, retroaktif lebih lanjut dipecah menjadi tiga sub-kelas :

  1. Undang-undang yang membawa akibat baik terhadap peristiwa yang sebelumnya terjadi;
  2. Undang-undang yang membawa akibat merugikan terhadap peristiwa yang sebelumnya terjadi;
  3. Undang-undang yang memberlakukan hukuman pada orang yang dipersalahkan dengan mengacu pada peristiwa sebelumnya, tetapi hukuman bukan merupakan akibat dari peristiwa tersebut.[11]

Persoalan retroaktif sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas. Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini mengandung di dalamnya asas lex temporis delicti atau asas non rektoaktif.[12] Konsekuensi dari ketentuan pasal ini adalah adanya larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana.[13]

Larangan tersebut ditentukan juga dalam Pasal 28 I Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dikatakan bahwa “…. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi Indonesia melindungi hak seseorang untuk tidak dituntut atau dihukum dengan cara penerapan aturan yang berlaku surut. Asas retroaktif memiliki arti penting untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa dan menjaga undang-undang tidak diberlakukan surut sehingga ada jaminan kepastian hukum.

Menurut Schaffmeister, Keijer, dan Sitorius, larangan pemberlakuan asas retroaktif ini didasarkan pada pemikiran :

  1. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
  2. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.[14]

Selain itu Leden Marpaung berpendapat bahwa Ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut ditujukan pada aparat penegak hukum terutama pada Hakim, bukan pada pembuat undang-undang, hal ini bermakna bahwa walaupun pembuat undang-undang merumuskan suatu norma pidana dapat berlaku surut, hakim tidak dapat memberlakukan “berlaku surut” sebelum undang-undang tersebut dibuat.[15]

Dengan demikian, secara prinsip umumnya bahwa “hukum yang berlaku surut (retroaktif) adalah umumnya tidak adil dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undang atau dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum”. Biasanya terhadap pembuatan aturan secara retroaktif oleh legislatif menunjukkan bahwa, tidak adanya bahasa hukum yang jelas dan tegas, undang-undang seharusnya diberlakukan terhadap peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut disahkan.

Larangan penerapan prinsip retroaktif merupakan syarat yang penting bagi penegakan aturan hukum. Dalam diskusi-diskusi akademis tentang hukum pidana hal yang menjadi perhatian penting adalah larangan mendefinisikan dan menerapkan hukum pidana secara retroaktif.[16] Dalam asas legalitas dari aspek lex previa, terdapat larangan bahwa ketentuan peraturan tindak pidana tidak boleh diberlakukan surut (non retroaktif). Asas non-retroaktif adalah prinsip yang mendasar dari setiap sistem peradilan pidana dan telah secara eksplisit diakui dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Perjanjian Internasional.

Pembahasan

Penerapan Asas Retroaktif Dalam Sistem Hukum Indonesia

Dalam sejarah dan praktek hukum pidana di Indonesia, penerapan asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Meskipun penerapan asas retroaktif bertentangan dengan asas legalitas yang diakui sebagai asas hukum utama dalam penegakan hukum, namun dalam praktiknya asas legalitas ini dapat disimpangi, yang menurut para ahli hukum, dasar hukumnya merujuk kepada ketentuan Pasal 1 Ayat (2) KUHP yang menyatakan “Bilamana ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.[17]

Selain ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut, paling tidak terdapat beberapa ketentuan undang-undang yang pengaturannya membolehkan diterapkannya asas retroaktif dalam sistem hukum Indonesia, yaitu :

  1. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentng Hak Aasasi Manusia (UU HAM)

Pasal 4 UU HAM menyatakan :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 4 menyatakan, “bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan”.

  1. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).

Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan :

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”. Selanjutnya ayat (2) menyatakan “Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”.

UU Pengadilan HAM memberikan ruang untuk menerapkan prinsip retroaktif dalam proses peradilan HAM yang didasari ketentuan Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.

  1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT)

Pasal 46 UU PTPT menyatakan “Ketentuan dalam Perpu ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Perpu ini, yang penerapannya ditetapkan dengan undang-undang atau perpu tersendiri”.

Hal inilah yang mendasari pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 terhadap peristiwa Bom Bali I. Terbukti dengan disahkannya UU No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang.

  1. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK)

Pengaturannya dapat ditemui dalam Pasal 68 yang berbunyi :

Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”.

Selanjutnya Pasal 70 yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah undang-undang ini diundangkan”.

Selain itu, asas retroaktif juga diberlakukan dalam yurisprudensi sebagaimana terlihat misalnya dalam Putusan Pengadilan HAM dengan register perkara Nomor : 01/PID.HAM/AD.HOC/2001/PH.JKT.PST. tentang Keterlibatan Mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osario Soares dalam Pelanggaran HAM berat di Timor Timur.

Bagi pendukung pemberlakukan asas retroaktif, penerapan asas retroaktif dalam berbagai UU di atas tidak bertentangan dengan konstitusi, melainkan telah sesuai dengan  ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi :

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.

Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 inilah sebagai pasal pengecualian dari larangan penerapan asas retroaktif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Berbagai ketentuan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan prinsip retroaktif dalam hukum di Indonesia. Pemberlakuan asas retroaktif menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya. Terkait hal ini, menarik untuk dipaparkan pendapat yang dikemukakan Barda Nawawi Arief bahwa asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari atau nilai dasar “kepastian hukum.” Namun, dalam realitanya, asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan atau penghalusan atau pergeseran atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut :

  1. Bentuk pelunakan atau penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri yaitu dengan adanya pasal 1 ayat (2) KUHP;
  2. Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel;
  3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt. 1951 ; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undan Nomor 35 Tahun 1999 dan konsep KUHP baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai Nullum delictum sine ius, atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
  4. Dalam dokumen Internasional dan KUHP negara lain juga terlihat perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada diatas;
  5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai “Permaafan atau pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “Rechterlijk Pardon”, Judicial Pardon” ,”Dispensa de pena”, atau “Nonomposing of Penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial Corrective to the legality Principal”;
  6. Ada perubahan Fundamental di KUHAP Prancis pada Tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor.75-624 Tanggal 11 juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai “ Pernyataan Bersalah Tanpa menjatuhkan pidana”) (“De Declaration of Guilt without emposing a penalty“);
  7. Perkembangan atau perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cyber crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”, karena dunia maya (cyber- space) bukan dunia riel atau realita atau nyata atau pasti.[18]

Sementara dalam hukum internasional juga memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan terhadap asas retroaktif. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif.  Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1). Bahkan dari praktek hukum pidana internasional, dapat kita lihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif.[19]

Telaah Hukum Tata Negara atas Pemberlakuan Asas Retroaktif

Polemik tentang perlu-tidaknya asas retroaktif ini diberlakukan sangat gamblang terwacanakan terutama saat Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan pengujian UU No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkara permohonan pengujian UU No. 16 Tahun 2003 tersebut, MK memutuskan bahwa penerapan asas retroaktif dalam UU No. 16 Tahun 2003 tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan dan semangat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan oleh karena itu Mahkamah harus menyatakan undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara dalam perkara pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, MK memutuskan bahwa ketentuan tentang penerapan asas retroaktif dalam Pasal Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Kedua putusan MK tersebut di atas berimplikasi luas dan menimbulkan ragam pendapat pro dan kontra terkait subtansi boleh tidaknya penerapan asas retroaktif dalam sistem hukum Indonesia. Dalam Putusan MK No. 13/PUU-I/2003 dengan jelas MK berpendapat asas retroaktif tidak dapat diterapkan, sementara dalam Putusan MK No. 065/PUU-II/2004 MK justru berpendapat asas retroaktif dapat diterapkan dengan pengecualian. Terlepas dari berbagai pertimbangan MK dalam putusannya, putusan MK tetaplah bersifat final dan mengingat. Meskipun demikian, telaah akademis atas penerapan asas retroaktif masih terbuka.

Penulis sendiri berpendapat bahwa asas retroaktif secara hukum tidak dapat diberlakukan dalam sistem hukum Indonesia. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi hukum sebagai berikut :

Pertama, UUD NRI Tahun 1945 sebagian konstitusi negara Republik Indonesia sama sekali menolak pemberlakuan asas retroatif di mana penolakan terhadap asas tersebut merupakan wujud sebuah perlindungan terhadap HAM seorang manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga dan oleh siapapun juga, termasuk lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Hal tersebut tertulis dengan jelas dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan sebagai berikut :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Frasa “….dalam keadaan apapun” yang tercantum pada pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memiliki makna yang sangat jelas akan penolakan UUD NRI Tahun 1945 atas diberlakukannya asas retroaktif dan oleh karenanya tidak perlu dan tidak dapat ditafsirkan lain. Pelarangan penerapan asas retroaktif dalam keadaan apapun merupakan satu kesatuan dengan pengakuan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum” yang juga tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Artinya, dalam kondisi darurat apapun tidak memberikan justifikasi memberlakukan produk perundang-undangan untuk berlaku surut.

Oleh karena itu ketentuan dalam undang-undang yang mengecualikan penerapan asas retroaktif seperti yang ditegaskan dalam Pasal 4 UU HAM misalnya, jelas bertentangan dengan substansi konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Asas non-retroactive adalah perintah konstitusi, tidak dapat disimpangi, apalagi dinegasi oleh peraturan perundang-undangan lainnya. Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut menjadi muatan materi dalam UUD, seperti yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Semestinya segala undang-undang yang mengandung materi tentang pemberlakuan asas retroaktif yang berada di bawah konstitusi harus memiliki kesalarasan norma dengan norma konstitusi. Setiap undang-undang yang dibuat dalam rangka memberikan pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi sebagai norma hukum tertinggi negara. Hal ini disebabkan norma dasar sebagai norma tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat dan menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum sebagaimana yang ditegaskan oleh Hans Kelsen dengan teori stufen-nya.[20] Dalam sistem hierarkhi perundang-undangan, norma undang-undang tidak boleh bertentangan dengan norma konstitusi, sehingga jika terdapat norma undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, maka undang-undang tersebut mengandung cacat sejak kelahirannya (in abtio).

Menurut Joshua Dressler, pemberlakuan prinsip retroaktif adalah tidak adil sebab hanya untuk menerapkan aturan baru secara prospektif saja, yang dapat merusak sistem penegakan hukum.[21] Oleh karena itu, Oemar Seno adji menegaskan bahwa larangan penerapan prinsip retroaktif merupakan syarat yang penting bagi penegakan aturan hukum. Dalam diskusi-diskusi akademis tentang hukum pidana hal yang menjadi perhatian penting adalah larangan mendefinisikan dan menerapkan hukum pidana secara retroaktif.[22] Dari aspek lex previa, dalam asas legalitas terdapat larangan bahwa ketentuan peraturan tindak pidana tidak boleh diberlakukan surut (non retroaktif). Asas non-retroaktif adalah prinsip yang mendasar dari setiap sistem peradilan pidana dan telah secara eksplisit diakui dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Perjanjian Internasional. Bagi Joseph Raz, aspek terpenting dari aturan hukum adalah hukum itu dibuat oleh parlemen dalam hal ini legislatif, dimana dalam produk hukum oleh legislatif harusnya mampu membimbing prilaku seseorang, dan hukum seharusnya berorientasi kedepan (prospective) dari pada melihat masa lalu (retrospective).[23]

Dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 terdapat beberapa hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, dimana salah satunya adalah hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Ini berarti hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan derogable rights sehingga tidak dapat dikurangi atau dibatasi walaupun terdapat ketentuan seperti seperti dalam pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, yang seolah-olah memberi peluang untuk menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Ketentuan dalam pasal 28J ayat (2) NRI Tahun 1945, tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dibatasi atau dikurangi. Apakah ketentuan yang menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berlaku untuk semua hak-hak yang tercantum dalam ketentuan Bab X A UUD NRI Tahun 1945, termasuk ketentuan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Padahal ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pengecualian sebenarnya harus secara eksplisit ditentukan dalam pasal atau ayat sendiri.

Dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan di MK Maria Farida Indrati berpendapat bahwa ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap Pasal 28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.Begitu pula dengan pendapat Indriyanto Seno Adji yang menegaskan bahwa sifat eksepsionalitas terhadap pembatasan-pembatasan pada Pasal 28J tersebut harus tetap dalam batas-batas yang tidak dapat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai asas umum/universal dalam Hukum Pidana. Jadi dalam kondisi darurat apapun tidak memberikan suatu justifikasi memberlakukan produk perundang-undangan untuk berlaku surut  karenanya pembatasan-pembatasan dimaksud tidaklah berada dalam posisi dan status yang merugikan kepentingan tersangka/terdakwa/terpidana.

Pendapat yang lebih tegas dikemukakan oleh Laica Marzuki dalam disenting opinion terkait putusan MK dalam perkara No. 065/PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa :

“…asas non-retroaktif sudah tidak dapat disimpangi, apalagi dilanggar, dengan telah dicantumkannya prinsip tersebut pada Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945. Juga Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat di-negasi oleh Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 yang hanya menetapkan pembatasan penggunaan hak dan kebebasan setiap orang atas dasar undang-undang dalam makna wet, Gesetz, tetapi sama sekali bukan dalam makna pembatasan atas dasar Grundgesetz (undang-undang dasar)”. [24]

Juga ditegaskan Abdul Mukthie Fadjar bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 adalah untuk restriksi terhadap sejumlah HAM di luar apa yang secara limitatif telah disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. [25]

Dengan bersandar pada berbagai uraian dan pendapat di atas, penulis berkeyakinan asas retroaktif tidak dapat diberlakukan dalam kondisi apapun dan demi alasan apapun, karena sifatnya yang mutlak. Hak untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang dalam keadaan apapun. Frasa “dalam keadaan apapun” menjadi norma penegas dalam konstitusi bahwa asas retroaktif mutlak adanya dan tidak ada intepretasi atas ketentuan konstitusi sepanjang ketentuan konstitusi tersebut belum dilakukan perubahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bryan A. Garner bahwa “A retroactive law is not unconstitutional, unless … is constitutionally forbidden”.[26]

Kedua, suatu aturan-aturan pidana tidak berlaku surut ataupun undang-undang tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan asas yang dirumuskan pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: “tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali berdasarkan suatu ketentuan hukum pidana menurut Undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu”.

Apabila mencermati substansi KUHP tersebut mengandung prinsip yang mengharuskan bahwa ketentuan pidana haruslah ditetapkan ke dalam suatu undang-undang yang sah. Disamping itu pula bahwa ketentuan pidana yang dituangkan dalam suatu undang-undang tidak dapat dikenakan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan sebelum adanya ketentuan pidana dalam undang-undang itu diberlakukan. Dengan demikian bahwa suatu undang-undang tidak dapat berlaku surut, sebagaimana yang dikenal dengan asas “nullum delictum sine praevia lege poenali” yang berarti bahwa suatu peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu. Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan hukuman terikat pada undang-undang, oleh karenanya dengan adanya ketentuan ini, maka hak kemerdekaan seseorang akan lebih terjamin.

Bunyi pasal tersebut mengandung asas-asas penting dalam Hukum Pidana yang dirumuskan dengan maxim “nullum crimen sine lege” (Tiada kejahatan Tanpa Undang-undang). “nulla poena sine crimine” (Tiada Pidana tanpa Kejahatan), “nullum crimen sine lege praevia” (Tiada kejahatan tanpa Undang-undang sebelumya). Dengan kata lain, dilarang menerapkan secara ex post facto criminal law.[27] Tujuannya adalah demi kepastian Hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memperkokoh penerapan Rule of Law. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut maka ada jaminan kepastian hukum atau legal certainty.

Dengan merujuk pada ruh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan asas yang bersifat universal, Harun Alrasid, sebagai ahli, dalam persidangan perkara pengujian UU No. 16 Tahun 2003 berpendapat bahwa tidak ada penafsiran lain kecuali bahwa asas non-retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Karena itu, tidak seorangpun dapat dihukum karena suatu perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan. Ketentuan ini bersumber dari hak asasi manusia agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Jika asas retroaktif diberlakukan, justru akan menjadi ancaman bagi kepastian hukum Jika Pemerintah memberikan hak bagi penegak hukum untuk menuntut dan mengadili seseorang atas dasar hukum yang berlaku surut maka sama saja Pemerintah telah memberikan lisensi bagi penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang

Menurut Barda Nawawi Arief, larangan berlakunya hukum/Undang-Undang Pidana secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan HAM.[28] Pendapat lain ditegaskan pula oleh Muladi bahwa pemberlakukan prinsip retroaktif oleh penguasa (absolut, anarki dan otoriter) sebenarnya bertujuan untuk membentuk peraturan guna melakukan pemidanaan terhadap perbuatan lawan politiknya yang tidak ada aturan tertulisnya, maka diciptakanlah suatu produk hukum positif dan kemudian diberlakukanlah hukum tersebut secara surut (retroaktif) guna menjangkau perbuatan lawan politik atau oposan yang menentang pemerintah.[29]

Sementara menurut Andi Hamzah, penerapan asas retroaktif saat itu hanyalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi dari asas lex talionis (pembalasan).[30] Oleh karena itu, semangat untuk melakukan eksistensi asas retroaktif justru dianggap kemunduran dan menimbulkan suatu destruksi terhadap sistem hukum (pidana) yang ada, bahkan meletakkan asas talionis (balas dendam) sebagai sumber primaritas. Dalam kaitannya dengan pemberlakuan asas retroaktif khususnya bagi pelanggaran HAM berat dalam pandangan kritis Romli Atmasasmita, pemberlakuannya masih dilematis karena beberapa sebab, diantaranya bahwa pemberlakuan asas retroaktif memerlukan justifikasi-justifikasi yang sangat kuat, baik dari sisi pertimbangan filosofis, yuridis, maupun sosiologis.[31]

Hal yang perlu ditegaskan bahwa dalam asas legalitas terdapat empat aspek yang dapat diterapkan secara ketat mereka diantaranya terdiri dari dua ketentuan tentang batasan pada hukum pidana dan dua tentang larangan dalam penerapannya, yaitu : (a) aspek batasan hukum pidana dinyatakan dalam prinsip-prinsip hukum lex scripta (hukuman harus didasarkan pada hukum tertulis) dan lex certa (bentuk dan beratnya hukuman harus jelas didefinisikan dan dibedakan); dan (b) aspek larangan terdiri dari, lex preavia (larangan terhadap penerapan retroaktif) dan lex stricta (larangan menerapkan analogi). Dengan bersandar pada prinsip tersebut, penerapan asas retroaktif hendaknya harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yaitu lex scripta, lex certa dan lex preavia. Pemberlakuan asas retroaktif hanya berdasarkan suatu penafsiran justru akan meruntuhkan prinsip-prinsip hukum dan mengabaikan kepastian hukum yang justru dikehendaki oleh suatu perundang-undangan. Hal ini bukan berarti semata-mata kepastian yang diutamakan, namun juga jika keadilan dan kemanfaatan hukum yang lebih diutamakan jutru akan menyesatkan. Ketiganya harus berjalan secara simultan dan berimbang.

Terkait pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan dasar hukum pemberlakuan asas retroaktif dan merupakan suatu penyimpangan dari larangan asas retroaktif dari hukum pidana, dalam pandangan penulis pendapat tersebut kurang tepat. Penulis bersandar pada pendapat yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang menyatakan bahwa penyebutan asas retroaktif dalam Pasal 1 ayat (2) kurang tepat, dengan alasan sebagai berikut:

  1. Pasal 1 ayat (2) sebenarnya tidak mengatur tentang prinsip “retroaktif” (undang-undang berlaku surut), tetapi mengatur tentang hukum yang berlaku dalam masa transisi dalam hal ada perubahan perundang-undangan) dengan prinsip “hukum yang diberlakukan (dalam masa transisi) adalah hukum yang menguntungkan/meringankan terdakwa. Jadi, Pasal 1 ayat (2) mengandung prinsip bahwa apabila dalam masa transisi , menghadapi 2 (dua) pilihan perundang-undangan, maka harus “diterapkan/didahulukan hukum yang menguntungkan/ meringankan”. Jadi dapat dikatakan mengandung “asas subsidiaritas”.
  2. Istilah “retroaktif” memberi kesan bahwa “undang-undang baru” yang diberlakukan surut; padahal menurut Pasal 1 ayat (2), “undang-undang lama” pun tetap dapat diberlakukan apabila menguntungkan/meringankan terdakwa.[32]

Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (2) KUHP bukanlah diartikan sebagai ketentuan yang mengandung asas retroaktif, melainkan lebih tepat jika dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP ini mengandung asas subsidiaritas.

Ketiga, adanya kontradiktif norma yang terkandung dalam UU No. 39 Tahun 1999. Pada satu sisi Pasal 4 menegaskan bahwa “…hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Ketentuan “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” atau retroaktif dalam pasal tersebut merupakan hak mutlak. Namun pada sisi lain, dalam Penjelasan Pasal 4 “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Pengaturan yang demikian menunjukkan adanya ambiguitas norma dan membingungkan, betapa tidak dalam Pasal 4 ditentukan hak absolut, namun dalam penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak absolut yang ditentukan dalam Pasal 4 dinegasikan oleh penjelasannya sendiri sehingga bertransformasi menjadi hak relatif.

Ditinjau dari norma pengaturan suatu undang-undang, maka norma yang dikandung dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 merupakan derivasi norma dari ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. Norma konstitusi tersebut diambil alih menjadi norma undang-undang. Hanya saja norma konstitusi tersebut menjadi tidak bermakna karena adanya norma terselubung yang memberikan pengecualian terhadap amanat konstitusi tersebut. Keabsolutan norma yang diberikan konstitusi dilemahkan oleh penjelasan dari suatu norma undang-undang. Dengan kata lain, Penjelasan Pasal 4 dari undang-undang ini yang memberikan pengecualian terhadap pemberlakuan hak absolut dari setiap manusia untuk tidak dikenakan hukum yang berlaku surut, menunjukkan karakter hermaprodit dari suatu undang-undang yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk penyimpangan norma. Oleh karena itu, pengaturan pengecualian asas retroaktif dalam undang-undang ini tidak dapat diterima keberlakuannya, sehingga patut untuk ditinjau kembali.

Keempat, dari sudut pandang kaidah hukum internasional pada dasarnya juga melarang pemberlakuan surut suatu peraturan hukum. Dalam kaidah hukum internasional, asas retroaktif merupakan asas hukum yang bersifat universal. Hal tersebut misalnya dapat ditemui dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.

Di negara-negara yang mempunyai sejarah penegakan hukum yang panjang dan paling demokratis, semisal Amerika Serikat, dalam konstitusinya tetap melarang penerapan asas retroaktif sebagaimana termuat dalam Article 1 Section 9 yang berbunyi “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passe”. Dalam praktiknya memang hakim dalam putusannya kadang-kadang mengesampingkan larangan tersebut, tetapi pada umumnya hanya dilakukan dalam perkara perdata. Sementara itu lembaga legislatif tetap memegang teguh asas ini, dan hingga kini tidak pernah mengamandemennya.

Diakui bahwa dari praktek hukum pidana internasional, dapat lihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Walaupun dalam praktik asas ini pernah dilanggar ketika mengadili kejahatan perang di peradilan internasional, namun hal itu dilakukan sebagai perkecualian dan dorongan emosional yang sangat kuat untuk memberi hukuman kepada kekejian Nazi, dan setelah pengadilan itu berakhir masyarakat internasional selalu kembali menekankan bahwa asas non-retroaktif ini tidak boleh dilanggar.

Dengan bersandar pada argumentasi tersebut di atas, pemberlakuan asas retroaktif dalam sistem hukum Indonesia tidak dapat dibenarkan karena tidak didasarkan justifikasi-justifikasi teoritis. Bahwa andai katapun diberlakukan asas retroaktif, maka haruslah dalam keterkaitan dengan kondisi darurat, sebagaimana asas ketatanegaraan “abnormaal recht voor abnormale tijden” (hukum darurat untuk kondisi darurat). Dalam kaitan Hukum Pidana dengan Hukum Tata Negara, maka apabila diberlakukan asas retroaktif hanyalah dapat dibenarkan apabila negara dalam keadaan darurat, case by case basis, limitatif area berlakunya dan selalu bersifat temporer, bukan permanen yang sangat bertentangan dengan berlakunya perlindungan HAM.[33]

Penutup

Dalam sejarah dan praktek hukum pidana di Indonesia, penerapan asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Meskipun asas ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, namun dalam praktiknya masih diberlakukan terutama pada tindak pidana tertentu, dengan bersandar pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 1 Ayat (2) KUHP. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan prinsip non-retroaktif dalam sistem hukum Indonesia. Pemberlakuan asas retroaktif menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.

Dalam optik Hukum Tata Negara, asas non-retroaktif adalah perintah konstitusi, tidak dapat disimpangi, apalagi dinegasi oleh peraturan perundang-undangan lainnya. Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut menjadi muatan materi dalam UUD, seperti yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Semestinya segala undang-undang yang mengandung materi tentang pemberlakuan asas retroaktif yang berada di bawah konstitusi harus memiliki kesalarasan norma dengan norma konstitusi.

Setiap undang-undang yang dibuat dalam rangka memberikan pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi sebagai norma hukum tertinggi negara. Hal ini disebabkan norma dasar sebagai norma tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat dan menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum. Dalam sistem hierarkhi perundang-undangan, norma undang-undang tidak boleh bertentangan dengan norma konstitusi, sehingga jika terdapat norma undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, maka undang-undang tersebut mengandung cacat sejak kelahirannya (in abtio).

 

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar Busro, Nilai dan Berbagai Aspeknya Dalam Hukum Suatu Pengantar Studi Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989.

Andrew Le Sueur, Javan Herberg dan Roralind English, Principles of Public Law, 2nd ed, Cavendish Publishing Limited, London-Sydney, 1999.

Asykuri Ibn Chamim dkk., Civic Education Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Yang Demokratis dan Berkeadaban, MPP Diktilitbang PP Muhammadiyah-LP3 UMY-The Asia Foundation, Yogyakarta, 2003.

  1. Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta, 2010.

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8th ed. Thomson West (West Group), USA, 1999.

Charles Sampford, Retrospectivity and the Rule of Law, Oxford University Press, C. Sampford, 2006

  1. Schaffmeister, N. Keijer, E.PH Sitorius, Hukum Pidana, terjemahan J.E. Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, 1995.

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah Raisul Muttaqien, Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2006.

Joshua Dressler, Understanding Criminal Procedur, 2nd edition, Matthew Bender & Company Incorporated, USA, 1996.

Leden Marpaung, Azas Teori Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

  1. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia: Upaya Mewujudkan Masyarakat yang Demokratis, Pustaka Pelajar-UNISDA Lamongan, Yogyakarta, 2005.

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1, Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007.

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Gramata Publishing, Depok, 2011.

Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Muladi, dkk, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, BPHN, Jakarta, 2003.

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Cetakan Pertama, Erlangga, Jakarta, 1985.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

——————– dan Ronny Hanitijo Soemitro, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Universitas Terbuka, Jakarta, 1986.

Yudha Bhakti, Laporan Akhir Tim Kompilasi Bidang Hukum Tentang Asas Rektroaktif, BPHN, Jakarta, 2006.

Agus Raharjo, “Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004.

 

[1]     Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 45. Juga dalam Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanitijo Soemitro, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1986), hlm. 48.

[2]     Ibid.

[3]     Yudha Bhakti, Laporan Akhir Tim Kompilasi Bidang Hukum Tentang Asas Rektroaktif, (Jakarta: BPHN, 2006), hlm. 7. Asas-asas hukum merupakan “konsepsi abstrak tentang bagaimana seharusnya” menjadi unsur pokok pembentukan isi norma hukum. Sementara norma hukum merupakan konkretisasi yang menjadi pedoman dalam bersikap tindak serta berperilaku dalam hidup menurut hukum. Suatu asas dapat melahirkan beberapa norma, dan satu norma dapat dijabarkan dalam berbagai sikap tindak. Lihat Abubakar Busro, Nilai dan Berbagai Aspeknya Dalam Hukum Suatu Pengantar Studi Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhratara, 1989), hlm. 19.

[4]     Ibid.

[5]     Satjipto Rahardjo, loc.cit. Dari pembicaraan mengenai asas hukum dapat diketahui … peraturan-peraturan hukum yang tampaknya berdiri sendiri-sendiri tanpa ikatan itu, sesungguhnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya dan mengutarakan suatu tuntutan etik. Oleh Paul Scholten dikatakan … asas hukum dengan tuntutan etiknya itu terdapat di dalam hukum positif, tetapi sekaligus ia melampaui hukum positif dengan cara menunjuk kepada suatu penelitian etik. Memang bagaimana asas hukum itu dapat memberikan penilaian etik terhadap hukum positif apabila ia tidak sekaligus berada di luar hukum tersebut. Keberadaan di luar hukum positif ini … untuk menunjukkan betapa asas hukum itu mengandung nilai etik yang self evident bagi yang mempunyai hukum positif itu. Lihat dalam Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., hlm. 52.

[6]     Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 27-28.

[7]     HAM mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara, dan dalam hubungan antara sesama warga negara. HAM yang berisi hak-hak dasar manusia memuat standar normatif untuk mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya dan hubungan rakyat dengan sesama rakyat. Oleh karena itu, penegakan HAM mempunyai makna penting untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Lihat Asykuri Ibn Chamim dkk., Civic Education Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Yang Demokratis dan Berkeadaban, (Yogyakarta: MPP Diktilitbang PP Muhammadiyah-LP3 UMY-The Asia Foundation, 2003), hlm. 369. Tidak dapat disangkal bahwa dalam dunia yang semakin global, hampir di setiap negara mulai menyadari akan pentingnya masalah HAM dengan berbagai kompleksitas yang ada padanya. Apalagi jika dikaitkan dengan semakin meluasnya liberalisasi dan demokratisasi politik mendorong negara untuk mengupayakan terciptanya penegakan HAM. Setidaknya apabila persoalan HAM tidak diperhatikan secara serius oleh suatu rezim, dapat menjadikan pergunjingan di antara negara-negara, bahkan apabila suatu negara terkesan tidak cukup memperhatikan HAM maka bisa jadi akan dikucilkan oleh dunia intenasional. Lihat M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia: Upaya Mewujudkan Masyarakat yang Demokratis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-UNISDA Lamongan, 2005), hlm. 1.

[8]     Yudha Bhakti, op.cit., hlm. 14.

[9]     Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8th ed. (New York: Thomson West (West Group), 1999), hlm. 1343.

[10]   Charles Sampford, Retrospectivity and the Rule of Law, (C. Sampford: Oxford University Press, 2006), hlm. 17.

[11]   Ibid., hlm. 17-22.

[12]   Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 1.

[13]   Mengenai larangan pemberlakuan surut suatu perundang-undangan pidana, pada awalnya terdapat di dalam ketentuan Algemene Bepalingen van Wetgeving Pasal 3 yang berbunyi … : “De Wet verbindt alleen voor her toekomende en heeft geen terugwerkende kracht”. Artinya: undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut. Lihat dalam Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., hlm. 183. Juga diatur dalam konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2).

[14]   D. Schaffmeister, N. Keijer, E.PH Sitorius, Hukum Pidana, terjemahan J.E. Sahetapy, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 5.

[15]   Leden Marpaung, Azas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), hlm. 115.

[16]   Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 65.

[17]   Perubahan yang dimaksud adalah perubahan rumusan delik dan/atau kualifikasi (contoh: perubahan ancaman pidana), perubahan perumusan ketentuan umum dalam konkreto (misalnya: perubahan ketentuan percobaan, penyertaan dan gabungan delik) dan perubahan perundang-undangan mengenai dapatnya dituntut. Lihat A. Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Yarsif Watampone, , 2010), hlm. 73.

[18]   Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 9-11.

[19]   Agus Raharjo, “Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari (2008), hlm. 73.

[20]   Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah Raisul Muttaqien, (Bandung: Nuansa dan Nusa Media, 2006), hlm. 179. Juga Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 46-47. Teori Stufen dari Hans Kelsen ini dianut dalam sistem pembentukan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan TAP MPRS Nomor: XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Tata Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan RI tanggal 5 Juli 1966 dan TAP MPR RI Nomor : III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan tanggal 18 Agustus 2000, maupun UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2011.

[21]   Joshua Dressler, Understanding Criminal Procedur, 2nd edition, (USA: Matthew Bender & Company Incorporated, 1996), hlm. 50.

[22]   Oemar Seno Adji, loc.cit.

[23]   Dikutip dalam Andrew Le Sueur, Javan Herberg dan Roralind English, Principles of Public Law, 2nd ed, (London-Sydney: Cavendish Publishing Limited, 1999), hlm. 425.

[24]   Lihat dalam Putusan MK No. 65/PUU-II/2004

[25]   Ibid.

[26]   Bryan A. Garner, loc.cit.

[27]   Prinsip ex post facto law ditentukan tegas pada Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda dengan publicatie (Pengumuman) tanggal 30 April 1847 (Staatsblad 1847 No. 23) yang berbunyi “undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidaklah berlaku surut”

[28]   Barda Nawawi Arief, loc.cit.

[29]   Muladi, dkk, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, (Jakarta: BPHN, 2003), hlm. 22.

[30]   Andi Hamzah, Hukum Pidana Politik, (Jakarta, 1992), hlm 2-3. Hukuman mati terhadap Naomi merupakan salah satu buktinya. Naomi adalah seorang bintara Angkatan Laut Jepang yang bertanggung jawab sebagai Kepala Dapur Kamp Tawanan Sekutu di Makassar, sedangkan Komandan Garnisun yang secara militer bertanggung jawab pidana secara individualistik telah melakukan harakiri, sehingga secara hierarkis Naomi dijatuhkan pidana tersebut. Sifat pembalasan politis sebagai sikap dari Lex Talionis ini tercermin dari pertimbangan putusan peradilan militer yang menyatakan antara lain: “karena kekuatan (angkatan perang) Sekutu akan mengejarnya sampai ke ujung langit untuk pada akhirnya akan diserahkan kepada instansi penuntut karena hukum akan ditegakkan”.

[31]   Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, (Depok: Gramata Publishing, 2011), hlm 63.

[32]   Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 8-9.

[33]   Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No. 1 Tahun 2002 Dalam Perspektif Hukum Pidana”, Makalah dalam Seminar yang diselenggarakan Minahasa Law Centre, tanggal 23 Desember 2002 di Manado, hlm. 15-16.